Kau masih ingat kapan pertama kali kita bertemu? Pasti tidak. Ya, aku pun tidak. Tapi aku masih ingat hal apa yang memertemukan kita. Aku masih ingat bagaimana pertama kali aku menyapamu. Aku juga masih ingat bagaimana kau membalasku waktu itu. Aku yakin kau pasti tak mengira bahwa saat itu adalah awal dari kau dan aku. Aku juga tak pernah mengira sama sekali.
Kemudian waktu menorehkan hal-hal menyenangkan untukku. Bukan. Waktu hanya memberiku kesempatan dan kau mengisinya dengan hal-hal yang –menurutku– manis. Manis sekali. Kau membuatku merasa aku telah menemukan yang kucari. Kau adalah orang itu, yang membuatku nyaman menjadi diriku.
Jadi, apa kautahu bagaimana kau di hatiku? Kau berada di tempat itu, tempat paling istimewa di sana. Tapi aku tahu kau tidak tahu-menahu soal itu dan kau pun pasti tak ingin tahu. Sekalipun sudah terlalu banyak kata terurai untukmu. Sekalipun aku di sini selalu saja mengingatmu sekeras apa pun aku ingin berhenti untuk itu.
Tapi biarlah. Kau kini memilih pergi. Rasanya dingin saat kau menjauh. Rasanya kosong dan aku tahu sesuatu terasa tidak lengkap lagi. Kau membuatku merasa hilang. Sepi.
Kau pergi dengan membawa tawamu lalu kau membaginya dengan yang lain. Tawa yang begitu kusukai tapi kini tak lagi mungkin kaubagi denganku. Karena aku tak dapat memintamu kembali. Sama sekali tak bisa karena sekarang kau menyadari bahwa aku tak cukup istimewa untukmu. Aku tak cukup istimewa untuk menyentuh duniamu dan menjadi salah satu bagian penting dalam hidupmu.
Terimakasih. Terimakasih kau telah pergi. Terimakasih telah meninggalkanku. Terimakasih telah menghapus jejakku dalam harimu. Terimakasih karena telah mulai menganggapku tak ada. Terimakasih karena aku takkan pernah bisa melakukan semua itu padamu meskipun telah sering kucoba untuk itu.
Terimakasih. Kau telah mengajariku banyak hal. Kau membuatku menyadari bahwa adalah suatu kesalahan mencoba membohongi diri sendiri. Melakukan sesuatu tanpa terlebih dahulu mendengarkan hati kita adalah suatu kekeliruan. Merasa begitu takut kehilangan adalah hal yang bodoh.
Terimakasih untuk semua itu.
Inilah rumusan terakhir kau di hatiku. Seterusnya kau mengisi hatiku. Kau akan tetap tinggal di sana karena aku takkan pernah lagi mencoba menyingkirkanmu dari sana. Kau masih akan di sana sekalipun nyatanya kau telah memilih pergi dari hidupku. Kau akan bertahan di sana dengan kepingan cerita lalu yang manis untuk kukenang. Rasanya memang menyesakkan tapi aku sama sekali tak peduli hal itu. Aku naïf dan bodoh. Ya, aku tahu itu.
Baiklah, selamat jalan! Aku melihatmu berlalu dengan hati yang lapang juga dengan keyakinan penuh bahwa aku akan terus baik-baik saja tanpamu di sini. Tapi jika saja aku masih boleh meminta satu hal darimu, aku ingin sekali lagi mendengar tawamu. Aku ingin sekali.
Kemudian waktu menorehkan hal-hal menyenangkan untukku. Bukan. Waktu hanya memberiku kesempatan dan kau mengisinya dengan hal-hal yang –menurutku– manis. Manis sekali. Kau membuatku merasa aku telah menemukan yang kucari. Kau adalah orang itu, yang membuatku nyaman menjadi diriku.
Jadi, apa kautahu bagaimana kau di hatiku? Kau berada di tempat itu, tempat paling istimewa di sana. Tapi aku tahu kau tidak tahu-menahu soal itu dan kau pun pasti tak ingin tahu. Sekalipun sudah terlalu banyak kata terurai untukmu. Sekalipun aku di sini selalu saja mengingatmu sekeras apa pun aku ingin berhenti untuk itu.
Tapi biarlah. Kau kini memilih pergi. Rasanya dingin saat kau menjauh. Rasanya kosong dan aku tahu sesuatu terasa tidak lengkap lagi. Kau membuatku merasa hilang. Sepi.
Kau pergi dengan membawa tawamu lalu kau membaginya dengan yang lain. Tawa yang begitu kusukai tapi kini tak lagi mungkin kaubagi denganku. Karena aku tak dapat memintamu kembali. Sama sekali tak bisa karena sekarang kau menyadari bahwa aku tak cukup istimewa untukmu. Aku tak cukup istimewa untuk menyentuh duniamu dan menjadi salah satu bagian penting dalam hidupmu.
Terimakasih. Terimakasih kau telah pergi. Terimakasih telah meninggalkanku. Terimakasih telah menghapus jejakku dalam harimu. Terimakasih karena telah mulai menganggapku tak ada. Terimakasih karena aku takkan pernah bisa melakukan semua itu padamu meskipun telah sering kucoba untuk itu.
Terimakasih. Kau telah mengajariku banyak hal. Kau membuatku menyadari bahwa adalah suatu kesalahan mencoba membohongi diri sendiri. Melakukan sesuatu tanpa terlebih dahulu mendengarkan hati kita adalah suatu kekeliruan. Merasa begitu takut kehilangan adalah hal yang bodoh.
Terimakasih untuk semua itu.
Inilah rumusan terakhir kau di hatiku. Seterusnya kau mengisi hatiku. Kau akan tetap tinggal di sana karena aku takkan pernah lagi mencoba menyingkirkanmu dari sana. Kau masih akan di sana sekalipun nyatanya kau telah memilih pergi dari hidupku. Kau akan bertahan di sana dengan kepingan cerita lalu yang manis untuk kukenang. Rasanya memang menyesakkan tapi aku sama sekali tak peduli hal itu. Aku naïf dan bodoh. Ya, aku tahu itu.
Baiklah, selamat jalan! Aku melihatmu berlalu dengan hati yang lapang juga dengan keyakinan penuh bahwa aku akan terus baik-baik saja tanpamu di sini. Tapi jika saja aku masih boleh meminta satu hal darimu, aku ingin sekali lagi mendengar tawamu. Aku ingin sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar