Minggu, 24 September 2017

IF SOMEDAY, YOU LOVE ME (part 3)



Mr.PHP come back again
            “Dorrr, ngelamunin apaan sih?” Tanyanya.
            “Nggak, nggak ngelamun kok hanya mengingat masa lalu saja.” Sambil menunduk.
            “ Masalah Gilang atau Awan?”
“Apa? Awan? eh iya Awan dimana ya sekarang, itu cowok  yang sering membuatku menangis kan. Inget gak vi?” Berbicara antusias.
“Hahaha, iya bener banget. Kata temanku dia masuk Universitas ini juga tau Ta!” Mencoba menjelaskan.
“Hah? yang bener waktu MOS kok gak ketemu dia sih? dia jurusan apa? terus nge-kos dimana?”
“Hmm, mau tahu banget ya. Bukannya kamu sudah tidak memperdulikannya lagi? malahan sekarang antusias banget nanyain Awan.”
“Ya, ingin tahu saja, namanya juga masa lalu gak ada salahnya kan?”
“Iya sih, dia masuk Teknik Sipil Ta, dia nge-kos deket rumah tante kamu, kata temanku seperti itu.”
“Apa? kamu gak salah dapet info? kenapa harus aku lagi sih yang berhubungan dengannya.” Dengan mimik wajah merengut.
“Haha, mungkin aja kalian jodoh Ta. Terus kalau kamu dengan Awan menyatu gimana? Gilangnya mau dikemanain. ”
“Buanglah Gilang pada tempatnya lah, hahaha.” Retta tertawa lepas.
“Gila kamu, maksudnya buang di tempat sampah?”
“Ih, hanya bercanda kok di anggap serius sih. Gilang itu masa depan tapi semu, sedangkan Awan itu masa lalu tapi nyata.”
“Sok puitis kamu Ta ” Vika beranjak pergi sambil memilih buku didepannya.
“Yee, biarin suka-suka aku.” Sambil menjulurkan lidah ke arah Vika.
Akhirnya mereka memilih untuk membaca novel remaja yang sekarang ini digandrungi kalangan remaja dan ABG.
          “Ta, ini novelmu sudah cetakan yang keberapa? kok aku tanya sama mamas yang punya toko bukunya sudah habis, dan bulan ini belum dikirim dari percetakan.” Sahutnya.
            “Kalau tidak salah sudah cetakan ke-5. Mungkin minggu depan baru dikirim dari percetakan.”
            “ Oke, aku mau beli buat temanku Ta, dia penasaran sama novel kamu katanya.”
            “ Waah, jadi terharu deh mendengarnya.” Wajah Retta memerah.
Keheningan menyelimuti mereka berdua, masing-masing dari mereka sudah fokus pada buku yang mereka pegang. Tiba-tiba pintu toko terbuka dan angin menghembus kencang ke arah Retta, dengan refleks dia menoleh kearah pintu.
            “Ya ampun Awan, ternyata benar dia ada di Jakarta, ngapain dia disini!”
Akhirnya Retta memutuskan untuk mendengar percakapan Awan dengan staff kasir.
“Pak ada novel yang judulnya sunset ? Pengarangnya Retta pak. ”
            “Maaf dek novelnya habis dari kemarin, mungkin satu minggu lagi baru ada dek.”
“Yah, gitu ya pak. Terima kasih, saya pamit dulu.”  Pulang dengan hati kecewa.
“Iya dek, eh dek penulisnya ada di toko ini loh, dia lagi baca novel di ruang belakang. Kamu salah satu penggemarnya?”
“Iya benar pak, dia Retta Naura Anjani? Dia ada disini?”
“Iya dek”
“Baik pak terima kasih banyak.” Menahan rasa gembira di hatinya.
Tiba-tiba novel yang Retta pegang terjatuh dan saat itu Awan menoleh ke arahnya, tanpa menunggu lama Retta langsung mengeluarkan jurus seribu langkah alias lari. Akhirnya Awan berhasil mengejar Retta dan sesaat kemudian mereka terdiam, hening tanpa suara. Hanya terdengar alunan lagu secondhand serenade  yang berjudul  fall for you.
            “Ta, kenapa kamu lari? kamu masih marah sama aku?”
            “Oh tidak aku hanya kaget melihatmu secara tiba-tiba disini.” Wajah Retta pucat pasi.
            “Kamu sakit Ta? aku anterin pulang yah? ” Menunjukkan sikap perhatian.
“Tidak usah, aku bisa pulang sendiri. Maaf permisi.” Retta menahan tangisnya sambil berlari.
Ketika di perjalanan menuju rumah Retta tidak bisa menahan tangisnya lagi, tangisnyapun pecah dia tidak bisa melihat Awan memperhatikannya, Retta takut dia akan suka dengan Awan lagi dan kemudian akan sakit hati kedua kalinya. Karena dulu Awan pernah menjadi bagian masa lalu yang akan Retta ingat selamanya jauh sebelum Retta mengenal Gilang di kehidupannya. Retta teringat bahwa tadi dia meninggalkan Vika tanpa memberitahunya dulu.
            “Mati aku, Vika pasti marah deh. Kok bisa lupa sih.” Retta panik.
“Pak putar balik ya, ke toko buku yang tadi.” Retta memukul pundak supir taksi itu.
Sesampainya disana Retta melihat Awan sedang berbicara dengan Vika di cafe depan toko buku itu, dia bisa mendengar jelas kalau Awan sedang berbicara sesuatu tentangnya kepada Vika dan sangat tidak disangka bahwa Awan sedang menangis. Hati Retta luluh, ingin sekali rasanya mendekati mereka berdua namun dia tidak berani. Sampai akhirnya Vika melihat Retta yang berdiri terpaku di bawah pohon kemudian Awan menoleh dan beranjak mendekatinya.
            “Kamu tadi kemana ? belum pulang?” Tanyanya.
            “Belum, mata kamu kenapa? habis nangis? ” Ucapnya ragu-ragu.
“Ah tidak, hanya kelilipan saja. Ke cafe yuk bareng aku sama Vika.” Sambil menggandeng tangan Retta.
“Kemana aja sih Ta, kok ninggalin aku tadi.” Ucap Vika.
“Oh, tadi aku beli obat dulu di apotek. Habis itu aku langsung kesini lagi.”
“Oh gitu, kamu sakit Ta? nanti pulangnya biar kamu dianterin sama Awan ya biar aku pulangnya naik taksi aja.”
“Iya deh Ka.” Retta pasrah mengikuti instruksi dari Vika.
Saat di mobil Retta hanya diam, dia tidak berani memulai percakapan duluan dengan Awan. Sampai akhirnya Awan yang memulai percakapan yang hening itu.
“Ta, aku mau ngejelasin masalah kita beberapa tahun yang lalu. Maaf kalau aku menyakitimu selama itu, maafkan aku yang terlalu bodoh menjauhimu dan menghindar darimu tanpa aku memberi tahu apa penyebabnya.”
“Sudahlah itu semua masa lalu jangan kamu sesali yang sudah terjadi, tapi aku hanya ingin tahu mengapa saat itu kamu berbuat itu padaku. Apakah aku berbuat salah?”
“Tidak Ta, kamu tidak salah aku terlalu pengecut untuk berbicara padamu kalau aku sangat menyukaimu dan ingin sekali rasanya kamu menjadi pacarku.”
“Kenapa baru sekarang kamu berbicara seperti ini, apakah kamu tahu bagaimana  perasaanku saat itu. Sakit rasanya wan! sakit Awan.”  Retta berteriak.
“Maafkan aku Retta, aku mencarimu sampai ke Jakarta untuk menebus kesalahanku di masa lalu Ta. Kamu mau maafin aku?”
“Semudah itukah kamu bilang maaf? sebenarnya kata maaf saja belum cukup untuk mengobati luka selama beberpa tahun ini tapi aku hanya manusia biasa aku menyadari bagaimana perasaanmu dan aku juga sudah memaafkanmu sebelum kamu berbicara kepadaku.” Sambil mengusap air mata.
“Terima kasih Ta, aku menyadari kesalahanku dan aku akan memperbaiki kesalahanku padamu.”
“Apa maksudmu? Memperbaiki kesalahan bagaimana? Aku tidak mengerti.” Menatap lugu ke arah Awan.
“Kamu tidak berubah Ta, tetap saja bertingkah seperti orang lugu.” Tertawa menggelitik.
“Tertawa saja terus, kamu juga tidak berubah sama saja seperti dulu selalu menertawai aku.” Memasang wajah kesal.
“Baiklah, aku akan jujur denganmu. Kamu mau gak jadi pacar aku? Aku serius Ta.”
Retta terdiam dan termangu mendengar ucapan Awan, namun fikirannya melayang pada beberapa tahun yang lalu. Awan hanyalah masa lalu yang nyata dan awalnya Awan hanyalah sahabat dan sampai akhirpun harus tetap menjadi sahabat dan tidak lebih dari itu.
           “Maafkan aku Wan, aku tidak bisa. Aku hanya sahabatmu dan akan terus menjadi sahabat terbaikmu bukankah kita menyadari bahwa di dalam persahabatan itu apabila ada cinta itu akan membuat persahabatan kita hancur. Dan aku tidak mau terjadi yang kedua kalinya pada kita, tolonglah mengerti Wan.”
            “Baiklah aku mengerti Ta, jadi kita tetap bersahabat?”
            “Iya Awan.” Retta tersenyum bahagia.
Mission of love
Retta dan Awan menjadi sahabat kembali dan mereka terlihat lebih akrab dan tidak canggung. Bila salah satu dari mereka ada masalah pasti selalu diceritakan dan tidak ada yang disembunyikan.
“Ta, kamu kenapa? Kok terlihat tidak bersemangat sih. Ada masalah ya ceritain dong?” Penasaran mendengar cerita Retta.
            “Tidak ada tuh, aku gak ada masalah apa-apa.”
“Aku kenal kamu sudah lama Ta, jadi aku tahu semua tentang kamu. Mata kamu itu tidak bisa bohong.” Menatap Lirih.
“Sok tahu kamu Wan, aku baik-baik saja Awan.”
“Baiklah kalau kamu tidak mau cerita, aku tidak memaksa.”
Setelah percakapan itu, Awan pergi meninggalkan Retta sendiri di taman karena Awan sedang ada jam mata kuliah perencanaan bangunan terpaksa kali ini Retta harus menunggu Awan ditempat yang sepi. Retta mengeluarkan buku hariannya dan menulis apa yang ada dipikirannya saat ini.

Perlu waktu lebih lama untuk mengartikan apa itu cinta
Perlu waktu lebih lama untuk mengartikan apa itu bahagia
Perlu waktu lebih lama untuk mengartikan sebuah rasa
Perlu waktu lebih lama untuk mengartikan apa itu sebuah kesedihan

            “Hei lagi ngapain Ta?” Tanyanya.
            “Tidak, lagi nungguin kamu aja.” (sambil meletakkan buku hariannya di dalam tas).
            “Oh yasudah, kita pergi ke kantin aja Ta.” Awan menggandeng tangan Retta.
Tiba-tiba buku harian Retta terjatuh dari dalam tasnya dan Awan melihatnya namun Retta sudah pergi duluan ke kantin dan Awan menggambil buku itu, dia bermaksud untuk mengembalikannya pada Retta tetapi buku itu terbuka dan dia melihat secarik foto Retta dan dirinya serta dia melihat kertas berwarna biru yang tidak sengaja dibacanya, isinya membuat Awan menyadari betapa sakit hatinya saat ini.

Tuhan, apakah ini rasanya disakiti orang lain?
Apakah ini rasanya sakit hati?
Apakah ini rasanya jatuh cinta?
Apakah ini rasanya sakit hati kembali?
Bahagia itu tidak ada, itu hanya kata kias yang membuat kita terlena akan artinya
Awan telah banyak membuatku mengeti apa itu sebuah kepedihan
Dan hanya hujanlah yang bisa mengobati kepedihanku saat ini

Setelah membaca kalimat demi kalimat yang ada di dalam buku itu Awan menyadari bahwa perbuatannya telah membuat Retta terluka dan memberikan kepedihan yang mungkin sampai saat ini masih terus diingatnya.
“Maafkan aku Retta, maafkan aku.” Awan mendesah sambil berlari ke kantin menemui Retta.
“Retta, ini bukumu tadi terjatuh di lantai.
“Ya ampun, Terima kasih Awan. Untung kamu yang lihat ya kalau orang lain yang ngambil kan bisa gawat.”
“Iya, kamu jangan ceroboh dong sembarangan meletakkan buku harian yang isinya pribadi.”
“Maaf deh Wan, heehee”. Retta tertawa.
            “Kamu tidak membacanya kan?”
            Ah, tidak mungkin, aku tidak berani membaca hal pribadimu disitu.”
            “Baiklah kukira kamu lancang membukanya.”
Awan tersenyum simpul kearah Retta dan dalam hatinya bicara apakah prilakunya salah yang sudah lancang membaca masalah pribadi Retta dan dia tidak mengakuinya namun dengan dia membacanya, Awan mengetahui sebuah kebenaran yaitu dia telah menyakiti wanita yang dia cintai dan itu yang membuatnya merasa bersalah.
            “Ta, maafkan aku ya.” Menatap Retta tajam.
“Kenapa kamu tiba-tiba meminta maaf? Aku tidak merasa kalau kamu melakukan kesalahan denganku.”
“Aku merasa bersalah Ta, aku salah sama kamu. Aku sudah menyakitimu terlalu dalam sampai dengan saat ini aku yakin kamu tidak pernah melupakannya.”
“Sudahlah aku sudah memaafkanmu, kamu sahabatku dan aku sudah melupakan semua masalah itu. Bukankah kamu sudah berulang kali meminta maaf padaku.”
Awan menunduk dan mencerna semua perkataan yang dibicarakan Retta walaupun dia sudah memaafkannya namun Awan telah membuat luka yang sangat besar dan tidak mudah melupakannya begitu saja.
            “Awan aku ingin menceritakan suatu kisah.”
            “Kisah apa Ta? kisah cinta kamu?.”
            “Aku serius Wan.”
            “Baiklah ceritakan saja padaku.”
            “Kamu ingat dongeng menunggu bintang diujung pelangi?”
“Iya ingat kok, bintang yang menunggu pelangi datang di negeri dongeng dan harapannya pupus karena pelangi itu tidak akan pernah datang.”
“Ternyata kamu masih ingat dongeng itu.”
“Tentu saja aku ingat karena dongeng itu yang telah membuat kita menjadi sahabat dekat sampai saat ini.”
“Kamu pernah mencerna apa maksud dari dongeng itu? kalau menurut aku itu sebuah cinta sejati, putri bintang yang berjuang hidup agar bertemu dengan sang pangeran yang hanya datang pada saat pelangi datang dan dia hanya bisa melihat sang pangeran pergi dari kejauhan.”
“Terus apalagi menurut kamu Ta, ayo lanjutkan saja.”
“Baiklah, aku berfikir bagaimana perasaan putri bintang yang ditinggalkan sang pangeran dengan memberi harapan kosong kepada putri bintang. Itu sangat menyakitkan menunggu dan hanya menunggu tanpa ada kepastian, sangat miris sekali.”
Awan hanya merenung mengartikan perkataan Retta, mungkin Retta sedang memberi pelajaran batin kepadanya. Awan hanya bisa menghela nafas panjang.
“Ah, Sudahlah ini hanya dongeng saja. Mana mungkin ada di dunia nyata, ayo kita pergi Wan.”
“Ayok Ta.”
Ada satu hal yang membuat dirinya gelisah dan masih perlu di cari tahu kebenarannya. Ini adalah masalah Gilang, jujur saja Retta masih menaruh harapan kepadanya. Retta sudah terlanjur menyukai Gilang karena Gilanglah yang membatu Retta melupakan masa lalunya bersama Awan. Keesokan harinya dia meminta bantuan Awan untuk menjadi pacar sementaranya karena Retta tahu bahwa Gilang dan Awan ada di jurusan yang sama.
            “Awan, bantuin aku ya? kita sahabatan kan? ayo dong.” Retta menatap Awan.
            “Aku masih gak rela Ta, kamu dengan orang lain.” Awan pura-pura sedih.
“Yah, kamu gak mau lihat aku bahagia? tolong dong bantuin ya? kita pacaran bohongannya cuma sebentar kok, hanya sampai aku tahu Gilang itu sudah punya pacar apa belum?” Memasang muka berharap.
“Bukannya kamu sudah tau kalau dia sudah punya pacar, kan kamu yang cerita sama aku. Kok sekarang mau mencari tahu lagi Ta?”
“Aku hanya penasaran, aku tahu Wan dia itu orangnya seperti apa jadi aku kurang yakin aja sama teman-temanku yang bilang kalau dia sudah punya pacar, mau bantuin aku gak sih?” Emosi Retta mulai meninggi.
“Jangankan hanya menjadi pacar sementaramu, selamanya pun aku mau Ta. Aku mau jadi pacar kamu, ternyata benar apa katamu bahagia itu sederhana melihat kamu begitu bahagia bersama Gilang aku pun merasa lebih bahagia.” Ucapnya dalam hati.
            “Kok bengong sih? Jadi kamu mau bantuin aku? ” ucapnya.
            “Hmm, oke deh sahabatku yang cantik. ” Awan mencoba tersenyum.
            “Makasih Awan.” Retta mencubit pipi Awan.
Retta begitu bahagia namun sebaliknya Awan merasa ini adalah sebuah karma yang sedang mengejarnya, karma karena telah mensia-siakan Retta. Kini dia mengerti akan artinya kebahagiaan. Apabila kita menyukai seseorang katakanlah janganlah kita memendamnya begitu saja, bukankah kita tidak tahu apa yang dirasakannya tanpa memberi tahunya dahulu. Penyesalan akan selalu datang belakangan. Lalu awan merobek kertas yang ada di tas nya dan dia mulai menulis sesuatu.

Begitu rasanya melihat orang yang kita cintai memilih mencintai orang lain dibandingkan diri kita sendiri, memang salahku yang mensia-siakannya di masalalu. Saya yang menyatakan cinta namun karena saya takut, saya menjauh darinya sampai saya tidak tau bahwa dia ternyata menyukai saya dan selalu menunggu terus menunggu saya dan akhirnya dia lelah menunggu seseorang yang tak pasti. Maaf saya telah menjadi seorang yang penakut, maaf saya telah memberi kenangan yang buruk padamu. Maaf saya telah membuat hatimu terluka dan maaf saya telah membuatmu menunggu terlalu lama
                                                                                                            A
Setelah menulis apa yang dia rasakan dikertas itu kemudian disimpannya di tas, dia melihat Gilang yang sedang lewat didepannya.
 “Gilang mau kemana? aku ikut ya?” Sapa Awan.
“Ke perpustakaan Wan, yakin kamu mau ikut? ” Tanyanya menyelidik.
“Weh iya lah bro, yok.” Sambil memukul pundak Gilang.
Sesampainya disana Awan melihat bahwa di perpustakaan juga ada Retta yang sedang memilih buku astronomi. Dan saat itu Awan tahu apa yang harus dilakukannya.
            “Mau aku bantuin mengambilkan bukunya, sayang? ” Ucapnya.
“Ah tidak usah terima kasih aku bisa sendiri kok, kamu jadi temenin aku nyari tugas kan Wan hari ini? ”
“Iya, tentu saja. Eh Retta kenalin ini teman aku namanya Gilang dia kakak kelas kita waktu SMA loh, lang kenalin ini Retta pacarku.”  Awan berbicara sambil memperhatikan reaksi temannya itu.
Tangan Gilang seolah-olah beku tidak bisa bergerak, hatinya perih, bibirnya pun kelu tidak bisa berbicara sepatah katapun, wajahnya pucat pasi dan sedang berusaha menyembunyikan sikapnya yang aneh, Gilang mencoba tersenyum dan menyapa Retta.
            “Ah iya apa kabar Retta, lama tidak bertemu? ” Berusaha untuk tetap tegar.
            “ Oh, Alhamdulillah baik.” Tersenyum simpul.
            “Kalian sudah saling kenal?” Tanya Awan.
            “Iya, sering ketemu di perpustakaan dulu.”  Mencoba menjelaskan.
“Wah berarti kita bisa pergi sama-sama ya bawa pacar jalan-jalan lang.” Pertanyaan Awan sudah mendekati sukses.
            “Oh maaf Wan aku masih jomblo belum ada pacar.” Gilang menunduk.
Retta menerka-nerka bagaimana perasaan Gilang saat ini, apakah dia sedih ataukan dia bahagia melihatku bersama Awan. Kejadian hari ini membuat Retta pusing memikirkan apa yang harus dia lakukan sekarang, melanjutkan sandiwara ataukah berkata jujur bahwa dia hanya pura-pura pacaran dengan Awan agar Retta tahu Gilang tidak berpacaran dengan wanita manapun. Tak lama setelah kejadian di perpustakaan tadi Awan berniat menghampiri Gilang untuk berbicara apa yang sebenarnya terjadi.
            “Hei Gilang.” Awan menghampirinya.
            “Kenapa Wan?” Menatap curiga.
“Kamu suka ya sama Retta?” Awan langsung menanyakan inti dari pembicaraannya kali ini.
            “Aku sangat menyukainya Wan, dari dulu hingga saat ini aku selalu menunggunya namun aku tidak ada keberanian untuk mengatakannya. Sampai akhirnya Retta sudah bersamamu dan aku tidak akan mengganggumu dengannya.” Ucapnya dalam hati.
“Tidak, aku tidak menyukainya, kenapa kamu bertanya seperti itu? ”
“Yakin? aku hanya bertanya.” Awan menganggukkan wajahnya.
“Oh, aku kira kenapa.”
Tiba-tiba suasana hening antara mereka, akhirnya Awan memutuskan bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk mengatakannya.
“Sebenarnya aku hanya pacar sementaranya Retta, kami hanya sandiwara menjalani hubungan ini, sejujurnya aku menyukai Retta namun Retta menyukai orang lain yaitu kamu Gilang. Dulu kamu di gosipkan berpacaran, pada saat itu Retta sedih dan saat ini dia yakin bahwa kamu menyukainya dan Rettalah yang memintaku untuk membantunya mencari tahu bahwa kamu sudah mempunyai pacar atau belum.” .
“Benarkah? apa yang kamu bilang itu benar Wan? kamu tidak berbohong?” menatap tajam kearah Awan.
“Apa untungnya aku berbohong lang, saranku sebaiknya kamu menyatakan isi hatimu sekarang kalau tidak mungkin kamu akan menyesal sepertiku dulu.”
            “Terima kasih Wan, kamu memang teman terbaikku.”
            “Cepat temui Retta di kantin, dia sendirian tuh cepetan.”
            Oke, thanks youre the best  Wan.”
Sesampainya Gilang dikantin, dia melihat Retta sedang duduk sambil memainkan sedotan di tangannya. Tidak berubah Retta masih seperti Retta yang dulu lucu, periang, dan selalu membuat Gilang terpesona apabila sedang menatapnya.
            “Boleh aku duduk disini.”
            “Oh boleh saja, tumben sekali kamu ingin berbicara denganku?”
“Ada sesuatu hal penting yang mau aku bilang ke kamu?” Gilang menarik nafas dalam-dalam.
            “Mau bilang apa, bilang aja.” Menatap penuh pertanyaan.
“Retta aku........” Mengucapkan dengan terbata-bata
“Akuuu apa Gilang ?mau makan sesuatu?” Tatap Retta bingung
“Aku suka sama kamu dari dulu sampai sekarang aku suka sama kamu, kamu mau jadi pacar aku.” Gilang berbicara dengan cepat sehingga Retta hanya sedikit menangkap apa yang dikatakannya.
“Maaf Lang suaramu terlalu cepat saya tidak teralalu mendengar suaramu? Boleh kamu ulang sekali lagi?” Goda Retta dengan nada bijak.
“Akuuuu sukaaa samaaa kamuuuu, kamuuu mauuu jadiii pacarr akuu Retta Nauraaa Anjaniiii?” Eja Gilang dengan nada jelas dan lantang kemudian dia menundukkan kepalanya.
“Sudah deh jangan nunduk terus, tapi maaf ya aku gak bisa...” dengan suara yang dibuat-buat.
“Oh begitu ya, maaf telah mengganggu waktumu karena pengakuanku yang tidak penting ini” Ucap Gilang lirih
“Saya belum selesai berbicara Lang maksud saya itu saya tidak bisa menolakmu begitu saja karena saya juga suka sama kamu dan saya mau jadi pacar kamu.” Sambil tersenyum.
“Serius? aku tidak salah dengar kan Ta?” Menatap Retta tidak percaya.
“Nggak kok kamu tidak salah mendengar dan aku serius.”
“Makasih ya Ta, akhirnya perjuanganku selama ini gak sia-sia, kamu tahu kan aku sudah diterima di Universitas di Lampung tapi setelah aku tahu kamu  kuliah di Jakarta, aku jadi termotivasi buat diterima disini. Dan akhirnya semua terwujud.”
“Iya, makasih juga kamu sudah rela jauh-jauh buat menyusul aku ke Jakarta. Kamu masih ingat tidak buku RA. Kartini yang kita baca waktu di SMA dulu.”
“Ah aku ingat yang judulnya habis gelap terbitlah terang kan?” Jelasnya.
“Buku itu sangat memberi pelajaran berharga bagiku.”
“Ya, seperti novelmu juga yang telah membuat aku percaya bahwa tidak selamanya  gelap itu tidak ada cahaya dan tidak selamanya terang itu tidak ada kegelapan.” Sambil menatap kearah Retta.
Semua masalah selesai dan Retta pun kini bahagia dengan Gilang, sedangkan Awan juga bahagia melihat mereka bersatu. Retta pernah bilang bahwa Gilang itu  adalah masa depan tapi semu dan Awan adalah masa lalunya tapi nyata, semua ucapan Retta mempunyai arti yang mendalam. Habis gelap terbitlah terang, itulah ungkapan Retta saat ini. Terima kasih Awan kau telah memberi gelap dalam hidupku dan terima kasih Gilang kau telah menutup gelap itu dengan memberi sepercik cahaya terang di dalamnya.

Jumat, 09 September 2016

IF SOMEDAY, YOU LOVE ME (part 2)



Masa Taaruf Kampus
            Suasana sepi senyap, rindang pepohonan seolah menari dihembus angin yang datang. Pagi yang dingin seakan menusuk di badan. Seorang anak perempuan yang sedang duduk memperhatikan orang-orang yang lalu lalang di jalan, anak itu bernama Retta. Dia mahasiswi Universitas Swasta di Jakarta, dia gemar membaca dan sedikit pendiam.
            Hari ini adalah hari pertama dia berkuliah di universitas yang dia idamkan selama ini, berkat kerja keras yang dia lakukan akhirnya impiannya tercapai untuk bisa masuk ke jurusan Psikologi yang menjadi jurusan terfavorit kedua setelah jurusan Kedokteran dan sekarang dia sedang menjalani masa orientasi mahasiswa yang sering kita sebut ospek.
“Kenapa kampus sebesar ini gak ada orangnya ya? Padahalkan ini sudah jam 6.30 dan seharusnya ramai orang disini, apa saya kepagian atau gimana sih?” Gumamnya dalam hati.
Sejenak dia berfikir dan melangkah menuju salah satu panitia yang sedang berdiri di hadapannya.
“Maaf kak ospeknya dimulai kapan ya? Saya lihat kok sepi ya disini hanya ada panitia saja?” Bertanya dengan ragu.
“Ospeknya sudah dimulai 5 menit yang lalu dek di fakultas masing-masing, kamu langsung kesana saja.”
“Aduh gawat deh, makasih ya kak atas infonya.” Tanpa menunggu respon sang panitia Retta sudah pergi ke fakultasnya.
Selama perjalanannya menuju fakultas Psikologi, dia merasa gelisah takut dimarahi oleh kakak tingkat atau malah dikerjai habis-habisan seperti yang dia tonton di televisi.
“Bakalan di kerjain nih sama kakak tingkat kalo kayak gini caranya, nyari fakultasnya aja belum ketemu.” Merasa panik.
Tiba-tiba dia melihat tulisan yang menunjukkan bahwa itulah fakultas Farmasi, dan dia melihat ada banyak orang yang sedang berbaris disana.
            “Alhamdulillah belum diabsen saya masih bisa masuk barisan.” Hatinya tenang.
Dan hari pertama kuliahpun sudah dijalani dengan baik dan seiring berjalannya waktu Retta bisa beradabtasi dengan baik dan mempunyai banyak teman.

Masalalu Retta
1 month later .......
Pada suatu hari Retta pergi ke perpustakaan untuk membaca, diperjalanan menuju ke sana dia mengingat masa-masa SMA nya dahulu. Apa yang orang bilang itu benar bahwa masa-masa SMA itu lah yang bisa kita nikmati dan banyak sekali peristiwa yang kita alami dan menjadi kenangan yang tak terlupakan. Terbesit di ingatannya tentang 2 nama yang sudah memberikan kenangan buruk dan sudah membuat Retta kecewa di masa SMA nya. Kemudian, dia melihat seseorang yang sedang duduk termangu sambil melihat ke arahnya yang sedang memilih buku di barisan depan.
“Kamu? Kamu kuliah disini?” Ujarnya.
            “Iya, baru semester 1 jurusan Psikologi” Retta berbicara.
“Akhirnya cita-cita kamu terwujud untuk masuk jurusan Psikologi di Universitas yang kamu inginkan ya.” (sambil melihat dan tersenyum kearahnya).
“Alhamdulillah, bukankah kamu yang bilang apabila kita memiliki potensi dan kita membaginya dengan orang lain serta mendoakan kesuksesan orang lain itu akan membuat kita meraih kesuksesan.” Mencoba berkata bijak.
“Ternyata kamu masih ingat ucapanku setahun yang lalu.”
“Itu yang membuatku termotivasi untuk mengejar cita-citaku.”
“Baiklah, semoga kamu selalu sukses untuk menjalankan kehidupanmu. Aku pergi duluan ya.” (sambil melambaikan tangan).
“Iya, eh kamu jurusan apa?” Dengan suara berteriak.
“Teknik Sipil” (sambil berlari kearah tangga).
Setelah jam kuliah selesai Retta masih tidak percaya akan kejadian hari ini, dalam perjalanan pulang Retta merenung, apakah yang dia lihat tadi adalah seseorang yang dia kenal selama ini dan apakah ini kenyataan ataukah mimpi? pertanyaan itupun selalu ada di benaknya.
            “Dukk Dukk.” Retta Terjatuh.
            “ Hei, hati-hati dong kalau jalan.” Cerutunya.
            “Maaf, maaf aku salah.” Retta menundukkan kepalanya.
Lelaki itu menyadari bahwa yang dia tabrak adalah Retta, adik kelasnya di sekolah menengah atas dulu dan seseorang yang dia temui di perpustakaan beberapa jam yang lalu.
                “Kamu tidak apa-apa? ada yang terluka? maaf aku yang salah, aku tidak melihat kamu menyebrang.” Ujarnya.
Retta kaget dan langsung beranjak dari aspal, menatap lelaki yang ada dihadapannya saat ini.
            “Hei, kamu tidak apa-apa?” Tanya lelaki itu.
            “Oh tidak apa-apa, maaf aku harus pergi.” Rettapun berlari meninggalkannya.
Kejadian yang lainpun sering berlangsung dengan peristiwa yang tak terduga, tanpa disadari kekosongan itu terisi kembali, tidak ada jarak dan tidak ada waktu yang bisa memisahkan mereka. Hanya perlu waktu buat mereka bersama lagi.
            Teman-teman Retta saat ini sedang berkumpul di taman kampus yang berada di dekat gedung perpustakaan yang sedang heboh membicarakan sesuatu yang membuat mereka histeris dan Retta akhirnya memutuskan untuk mendekatinya.
            “Ada apaan sih kok heboh banget ada artis yang dateng ya?” Gumamnya.
“Yang ini lebih keren dari artis Ta! sumpah deh gak rugi kamu ngeliatnya, dia anak Teknik sipil.” Memasang tampang berseri.
“Yang mana sil yang lagi duduk itu ya? Pakai baju garis-garis biru itu?” (memandang dengan tatapan kaget).
That’s right, namanya Gilang. Keren kan orangnya? nah yang disampingnya itu katanya sih pacarnya, gosipnya ya pacarnya itu yang nembak duluan padahal sayang banget cowok sekeren Gilang dapet cewek yang gak seberapa cantik. Huh jadi iri nih” ucap salah satu temannya.
Hati Retta sakit mendengar pernyataan temannya itu, dia sedih yang awalnya dia ingin berusaha mendekati Gilang namun harapan itu sirna, baru ingin memulainya kembali tapi harus pupus sebelum memulainya. Pil pahit harus ditelannya bahwa pada kenyataannya dia tidak bisa bersama Gilang karena dia punya kebahagiaan dengan orang lain dan itu bukanlah Retta.
“Mengapa harus seperti ini? kenapa harus terjadi denganku sekarang? bukankah manusia berhak bahagia.” Angan Retta berkhayal.
Tanpa sadar Retta mengeluarkan sesuatu dari matanya yang sering kita sebut air mata, air mata itu tanda dari kelemahan, air mata itu tanda dari kepasrahan namun bagi Retta air matanya itu adalah tanda kekuatannya menghadapi masalah. Tiba-tiba Retta tersadar kalau temannya menelponnya untuk meminta ditemani ke toko buku sore ini. Dengan cepat Retta mengeluarkan ponselnya dari dalam tas dan menelpon temannya.
            “Vi, maaf aku hampir lupa untuk menemanimu. Tapi sekarang aku lagi di jalan, cepat ya lima menit harus sudah sampai!”
            “Oke, tapi aku mandi memerlukan waktu dua menit, ganti baju dua menit, sisiran memerlukan waktu semenit jadi totalnya lima menit. Nah, kalau di total sekitar delapan menitan deh baru aku sampai disana.”
            “Vikaaaaaaaaaa.” Teriak Retta.
            “Iya deh aku cepet kok, tunggu aja ya cantik.” Rayunya.
            “Oke, cepetan ya vika.” (sambil menutup ponselnya).
Saat di toko buku Retta membayangkan beberapa waktu yang lalu ketika dia mengalami masa-masa di SMA nya dengan kakak kelas yang bernama Gilang. Kakak kelas yang Retta kagumi, mereka bertemu di perpustakaan sekolah. Retta sangat penasaran dengan seseorang yang sedang duduk di kursi yang jaraknya jauh dengan kursi yang lainnya. Sampai akhirnya Retta mencari tahu semua tentangnya mulai dari nama lengkap, kelas berapa, dimana rumahnya dan mencari tahu nomor telponnya. Pencariannya telah membuahkan hasil dia mengetahui nomor telpon Gilang dari temannya, namun dia masih malu untuk menyapa Gilang duluan sampai akhirnya teman-temannya selalu memaksa kemudian tanpa ragu Retta mengambil ponselnya dan mengetik sms untuk Gilang.
            “Ini Gilang Admadja?”
            “Iya ini siapa?”Tanyanya.
            “Hmm, mau masuk Universitas mana?”
            “Ini siapa, kok pertanyaanku tidak dijawab?”
            Your secret admirer
Awal percakapan yang menimbulkan banyak kenangan sampai dengan sekarang. Sejak awal Retta sudah menyukai Gilang, namun karena Retta sedang fokus agar bisa lulus UN dan masuk ke Universitas ternama dia berkorban mengenyahkan perasaannya untuk kepentingan masa depan dan kebetulan saat itu dia masih ragu apakah dia menyukai Gilang atau Awan. Sekarang itu semua tidak berguna, Retta dan Gilang berada di Universitas yang sama hanya terpisahkan gedung-gedung yang tinggi dan masing-masing dari mereka sudah meraih tujuan yang mereka  impikan.
Tapi sepertinya sekarang telah ada jurang yang memisahkan mereka berdua, ada tembok besar yang menghalangi mereka. Retta tahu bahwa Gilang sesungguhnya sudah menyukainya sejak dulu tapi Retta pun tahu Gilang adalah tipe orang yang pemalu dan pendiam, sama seperti dirinya. Retta berfikir apakah seseorang yang mempunyai sifat yang sama bisa bersatu ataukah tidak? sama halnya dengan bintang dan pelangi yang tidak bisa bersatu.

Pengikut